Are You Getting the Most Out of Your warhead strain?

Table of ContentsThe Of Forbidden Fruit Feminized Cannabis SeedsThe Definitive Guide to Forbidden Fruit Feminized Cannabis SeedsExcitement About Forbidden Fruit — Hybrid Cannabis Video, Thc…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




531. Crossroad

Pemuda itu membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali untuk terbiasa dengan cahaya yang menyinari wajahnya. Sebentar, cahaya? Biyu meraba sesuatu di bawah tubuhnya perlahan. Seperti rumput… Ia langsung terbangun, semakin tersentak begitu menyadari dimana dia sekarang. Kesiur angin menyapu wajah dan rambutnya, tak ada air sama sekali. Bajunya kering, seolah dia tak pernah tenggelam dalam bah air yang gelap tersebut. Biyu merinding, mengusap sekujur tubuhnya. Apa dia sudah di surga? Kenapa bisa secepat ini?

Anak itu bangkit, mencoba mencari jalan keluar atau petunjuk dimana dia berada sekarang. Matanya berkenala, memandang jauh dari tempat dia berdiri sekarang. Padang bunga, dengan angin segar yang seolah memenuhi lerung dadanya. Sangat indah, sungguh… Jika tak mengingat dia baru saja bunuh diri, Biyu akan sangat senang hati menghabiskan waktunya di sini. Ia masih terdiam, memandang ratusan bunga yang bermekaran di sekelilingnya. Entah hanya kebetulan atau memang tempat ini merupakan tempat tinggal seseorang, sejauh mata menatap, sebanyak apapun langkah yang diambilnya, dia hanya mampu menemukan dua jenis bunga. Tulip dan mawar. Memang berbagai warna, tapi hanya dua macam bunga itu saja yang dia lihat. Dua bunga jenis kesukaan Biya…

Anak itu tak sedang berhalusinasi karena sebentar lagi dia juga menyusul saudarinya, tapi tempat ini sangat mengingatkannya akan Biya. Padang bunga luas dengan jenis yang dia suka, dulu Biya pernah menceritakan mimpi itu kepadanya. Jelas saat mereka masih menjadi saudara. Entah kenapa juga pikirannya mengarah kesana. Biyu menghela nafas, masih terus berjalan pelan mengikuti jalan setapak diantara bunga yang tumbuh. Ada satu pohon besar di depan, terlihat rindang, terlihat sangat sejuk untuk dia bisa bersandar.

Kalau misal dia sudah mati, ya… sudahlah. Itu juga pilihannya sendiri, tak ada yang bisa dia sesalkan. Meski perasaan menyesal itu ada, tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk kembali.

Tama…

Yuna-mu ini rindu sekali.

Anak itu menunduk, merindukan sentuhan kasih Bible kala dirinya tahu itu semua sia-sia. Impulsivitas nya menang, traumanya menang, dan dia ada di sini. Di tempat yang dia sendiri tak tahu apakah masih menjadi bagian dari dunianya atau tidak.

Adek, jangan lari-lari! Nanti jatuh…”

Yaya tangkep, Iyu! Hehe, ayo kejar Iyu!”

Matanya membola saat tiba-tiba saya dua orang anak sedang berlarian di hadapannya. Jantung nya seolah dipaksa berdetak lebih keras kala Ia dapat dengan jelas melihat wajah dua anak kecil tersebut. Kembar, mereka anak kembar. Namun yang semakin membuatnya membatu adalah, karena Biyu tau siapa mereka…

Kenapa bisa ada sosok kecil dirinya dan Biya di sini? Mereka seolah hidup, berlarian bebas dan bermain bersama, hal yang sering dua anak itu lakukan dahulu. Lama sekali…

Biyu meremat tangannya, mencoba berbalik dan tidak menghiraukan keanehan tersebut. Tidak, mungkin itu hanya halusinasinya. Itu adalah fatamorgana yang mungkin timbul karena dia mengingat Biya karena tempat ini. Ah sialan, bahkan setelah dia juga mati bayangan Biya tak dapat lepas dari benaknya.

Namun semakin dekat dengan pohon itu, semakin familiar Biyu dengannya. Itu pohon belakang rumah yang dahulunya selalu mereka gunakan untuk bermain bersama, atau bersembunyi saat pengasuh mereka menyuruh untuk tidur siang. Akalnya buram, kenapa seolah-olah dia tengah masuk ke dalam dunia yang sangat menggambarkan ciri khas Biya?

“Bhiyyuna?”

Ia mendongak, menatap lurus pada seseorang yang berdiri tepat dibawah pohon rindang tersebut. Tubuhnya bergetar, berharap dengan sangat bahwa matanya sedang melakukan manipulasi optik lagi terhadap dirinya. Ini sangat tidak mungkin…

Nyatanya sosok perempuan tersebut juga sama kagetnya, Ia perlahan berjalan mendekat, dengan gaun putih selutut yang berayun dimainkan angin, gadis itu menghampiri Biyu yang masih mematung. Berhadapan dengan sosok yang dahulu sering dia panggil…

Adik.

“Kamu kenapa bisa di sini?” Suaranya mengalun lembut. Ada sedikit rasa khawatir yang bisa Biyu dengar di sana. Tubuhnya masih membeku, otaknya bekerja keras untuk mengingkari apa yang penglihatannya tangkap. Perempuan cantik, yang sangat mirip dengannya, wajah elok bak boneka porselen yang dahulu selalu dipuja oleh Ibunya…

Sosok yang seharusnya sudah menyatu dengan tanah hampir dua tahun lalu…

“Adek nggak boleh di sini… Ini belum waktu kamu buat pulang.”

Suara halus itu membuatnya tersentak, seiring dengan dia yang menepis tangan tersebut yang bersandar pada bahunya. “Lo ngapain di sini? Lo udah mati…”

“Biya”

Nama itu kembali dia sebut, dihadapan sang pemilik asma. Orang yang membuatnya hampir gila setengah mati untuk menggantikan dirinya di dunia. Perempuan yang membuatnya hampir kehilangan jati diri sendiri. Saudari kembarnya, Bhiyyera.

Biya menatap sayu ke arahnya, tatapan yang tak pernah wanita itu berikan setelah mereka beranjak dewasa. “Justru karena aku udah mati… Aku tahu bahwa seharusnya ini bukan tempat kamu, kamu belum berhak ada di sini, Bhiyyuna. Hidup kamu itu masih panjang.” Suaranya lebih lembut. Tak se-congak terakhir kali mereka ingat. Seolah sosok Biya yang identik dengan perempuan jahat itu tak pernah ada.

Biyu terdiam, meresapi tatapan perempuan yang kini mencengkram halus bahunya. Penuh kasih, begitu lembut, Biyu dapat merasakan itu semua. Untuk sekilas, jika dia tak mengingat bagaimana orang di hadapannya ini menghancurkan hidupnya, dia pasti akan terperosok dalam pesonanya.

Pemuda itu menepis tangan Biya, menatap tajam pada perempuan di hadapannya. “Masih panjang? Hidup gue yang udah lo hancurin sedemikian rupa, sampe akhirnya gue mutusin buat tenggalemin diri karena gue udah nggak kuat itu? Iya? Hidup itu yang lo maksud? Lo pasti lagi bercanda…” Ia tertawa penuh sarkas, giginya bergemeletuk menahan emosi.

“Aku minta maaf…” Biya berucap lirih. Menundukkan wajah cantiknya penuh penyesalan. Sekali lagi, seandainya itu bukan Biya, Biyu jelas tahu itu adalah sebuah permintaan maaf yang tulus. Tapi tidak, dia tak sudi menganggap Biya benar-benar meminta maaf kepadanya. Perempuan itu bukanlah tipe malaikat yang akan langsung mengakui kesalahannya. Setidaknya itu yang Biyu ingat.

“Maaf lo nggak akan pernah bisa ngerubah apapun. Apa dengan lo minta maaf Jo bakal balik ke gue? Atau dengan permintaan maaf lo, lo bisa ngontrol Bunda biar gak nyakitin gue terus-terusan? Lo aja udah mati, Bhiyyera. Lo udah mati. Lo udah gak berguna buat siapapun, nggak ada yang bisa lo lakuin buat penebusan dosa lo. Percuma minta maaf, lo cuman makin nambah kebencian gue ke lo.” Biyu menunjuk lurus kakak kembarnya, sebisa mungkin menekan emosi untuk tak menyakiti secara fisik perempuan itu. Sungguh, dia ingin mengajar Biya sekarang juga. Meluapkan kekesalan yang selama ini dia pendam.

Ia menarik nafas, menatap getir pada Biya. “Gue, lebih dari satu setengah tahun dipaksa buat jadi lo… Dandan kayak lo, ngubah suara gue, bahkan bergaul sama temen-temen lo yang kayak setan kelakuannya. Bahkan setelah lo mati, lo masih nyusahin gue, Bhiyyera. Bunda cuman mau ngomong dan kasih perhatian kalo gue jadi lo… dan lo segampang ini buat minta maaf? Gila.”

“Adek — ”

“Hah?” Biyu terkekeh, ada nada menyindir dan meremehkan yang terdengar dari sana, “Lo manggil gue apa? Adek? Adek lo?” Tanya anak itu dengan mata memicing.

“LO AJA NGGAK PERNAH NGAKUIN GUE ANJING! Lo kemana waktu gue butuh lo, Biya? Lo kemana waktu Bunda nyambuk gue, hah? LO KEMANA WAKTU GUE DEMAM KARENA DIKURUNG DI LUAR WAKTU HUJAN SAMA BUNDA, LO KEMANA BIYA?!” Pemuda itu berteriak, mencengkram erat lengan atas saudarinya. Meluapkan seluruh emosi yang dia pendam selama ini langsung ke sumbernya.

Ia kecewa, marah, kesal, penat, semua luapan itu seolah menjadi air bah yang tumpah ruah kini. Biya menunduk, sebisa mungkin untuk tak menangis di hadapan adiknya.

Biyu benar, ini salahnya, ini ulahnya. Dia tak berhak untuk membela diri, bagaimana pun Biyu sudah tersakiti selama ini. Bagaimanapun… dia lah yang membuat hidup adiknya seolah seperti di neraka.

Biyu masih mencengkram kuat lengan kakaknya, tak peduli apakah kukunya akan melukai Biya atau tidak. Dia hanya ingin Biya merasakan dan paham seluruh rasa sakit yang selama ini telah anak itu tanggung. “Dan lo masih bisa manggil gue adek, sekarang? Di saat lo udah gak ada di dunia, lo malah manggil gue adek…” Nada Biyu semakin melemah, diiringi dengan idaman kecil dan suara parau yang menjadi indikasi kalau sesungguhnya dia juga ingin menangis.

“Kalau lo masih hidup, gue gak akan segan-segan buat nampar lo. Kita cuman kebetulan lahir dari rahim yang sama, dengan muka yang kebetulan mirip. Udah, itu aja. Selamanya, lo nggak akan pernah jadi kakak gue. Dunia dan arah hidup kita beda, jadi jangan bersikap kayak lo tau semua tentang gue.” Ucapannya tajam, Ia bahkan memegang dagu Biya dan memaksa perempuan itu untuk menatapnya.

“Kenapa nangis? Ngerasa bersalah? Atau lo lagi ngedrama biar bikin seolah-olah gue yang salah di sini?” Tanyanya penuh penekanan.

“GUE MENDERITA KARENA LO, BHIYYERA! LO YANG HANCURIN HIDUP GUE SEDEMIKIAN PARAH! Lo rebut Jo dari gue, lo ambil Nathan yang jadi orang kepercayaan gue, lo monopoli kasih sayang Bunda, bahkan lo juga ngehasut temen SMP gue buat jauhin gue. Lo tamak, Biya… Lo-” Ia terhenti, sorot matanya penuh amarah, mencari kata-kata yang pas untuk mewakilkan seluruh sudut pandangnya terhadap orang di depannya ini.

“Menjijikkan.” Kata itu keluar. Membuat Biya diam-diam meremat gaun putih yang dia kenakan.

Biya tak dapat menahan air matanya, namun sebisa mungkin anak itu mencoba untuk tersenyum. Dia memang menjijikkan, seharusnya sejak bayi dia sudah mati agar tak menjadi beban untuk adiknya. Biya pantas dibenci, dia pantas untuk dimaki-maki. Bahkan dia merasa bahwa Biyu masih terlalu lembut untuknya.

Ia mendongak, tersenyum sendu pada adik kembarnya. “Biyu bilang mau nampar aku, kan? Ayo, tampar aja… Mumpung kamu dipertemukan sama orang yang paling kamu benci sepanjang hidup kamu.” Pintanya lirih.

“Emang lo bakal biarin gue?” Biyu mengangkat alisnya, mengejek. “Pfft, lo aja sayang banget sama aset lo itu, Bhiyyera… Gausah sok baik anjing di depan gue, kalo ini cara lo biar masukin lo ke surga, gue nggak akan bantuin lo. Lo berhak mendekam di neraka.” Cengkraman pada dagu dan bahunya semakin mengerat. Biyu kehilangan kendali atas dirinya, dia hanya ingin Biya mengerti sakitnya menjadi dia. Itu saja.

Biya menepis tangan Biyu dari dagunya, menggeleng sembari tersenyum miring. “Aku nggak ngerayu Tuhan sama sekali… Ayo Biyu, tampar aja. Kamu kesel kan liat — “

PLAK!

“At least itu bisa wakilin seenggaknya 5% kebencian gue sama lo.” Cetus Biyu setelah dia dengan sungguh-sungguh menampar pipi kiri perempuan tersebut, membuat tubuh Biya hampir terhuyung ke kanan.

Gadis itu menunduk, memegangi pipinya yang membekas merah. Ia mendongak pada Biyu, “Aku minta maaf… Buat semua rasa sakitnya, tapi kalau aku nggak ngelakuin ini, kamu akan jauh lebih sakit…” Tuturnya lembut.

Jengah.

Lagi-lagi dia mendengar kalimat itu. Biyu mendengus geli, tersenyum sarkas pada Biya. “Nih ya, mumpung gue di sini dan gue ketemu lo. Gue mau nanya, kenapa semua antek-antek lo bilang hal yang sama persis? Lo tau nggak sih gue udah eneg denger itu semua. Yang Jo bilang lo ngelindungin gue lah, Natha yang ngomong lo juga sama tersiksanya lah. Terus ini lagi, dari lo, kenapa sih? Seolah yang tersakiti di muka bumi ini tuh, lo.” Ia kembali menunjuk Biya dengan telunjuknya.

“Gue korban nya nyet, di sini. Yang menderita itu gue. Kenapa lo selalu aja bebanin gue sih? Lo udah mati, nggak seharusnya orang-orang masih ngungkit lo terus. Gue yang capek Biya, gue yang capek…”

“Maaf, aku nggak maksud gitu. Aku cuman—” Biya menunduk, menggigit bibirnya pelan. Ah, seharusnya dia tak mengeluarkan kalimat itu…

“Bisa nggak sih lo gausah jual muka sedih lo di depan gue? Gue nggak akan luluh, nggak akan juga gue maafin lo. Dulu lo maki-maki gue loh, dulu omongan lo selalu kasar loh, kemana sekarang? Apa emang setiap orang meninggal bakal selalu dibuat suci, gini?” Tanyanya penuh olokan. Dia memang anak yang frontal, orang-orang disekitarnya juga tahu Biyu bermulut tajam. Tapi tak ada yang pernah melihatnya hingga separah ini.

Dan Biyu bersyukur dia dapat melampiaskan dan menunjukkannya pada orang yang tepat.

Biya menarik nafas, haruskah dia mengatakan semuanya? “Kalau aku bilang, emang pada faktanya yang menderita nggak cuman kamu doang, kamu bakal nggak percaya juga, kan? Yaudah… aku rasa juga kamu nggak perlu tau lebih jauh. Tapi aku mohon, kamu harus cepetan pergi dari tempat ini…” Ia masih mendesak Biyu, memohon agar anak itu kembali.

“Kamu udah mulai bahagia, kan? Perjalanan kamu masih panjang… Jangan lepas masa muda kamu dengan berakhir sia-sia begini. Kamu tau kan hukuman buat manusia yang ngambil nyawanya sendiri sebelum waktunya?” Ia kembali berucap lirih, memberanikan diri untuk mengelus pipi Biyu.

“Kamu masih ada waktu…”

Biyu menepis tangan saudara kembarnya, “Lo belum jawab pertanyaan gue sepenuhnya. Apa yang lo sembunyiin dari gue?” Tanya anak itu tanpa basa-basi. “Gue hampir gila sama semua yang lo sembunyiin, Bhiyyera. Jadi gue harap lo bisa ngasih tau gue semuanya…”

Biya menatapnya, kali ini dengan pandangan serius. Ia menarik nafas dalam, mengangguk kecil. “Seandaikan aku ngasih tau semuanya, kamu bakal mau pulang, kan?”

Biyu mengangguk.

“Terus benci aku, ya? Jangan pernah ngerasa bersalah bahkan setelah kamu tau apa yang aku sembunyiin selama ini…” Biya tersenyum, meraih kedua tangan Biyu dan menggandengnya erat.

Dada Biyu seolah tersentak tiba-tiba. Seiring dengan cahaya putih yang langsung menembus masuk ke dalam retina-nya.

“Dan maaf… Maaf udah bikin kamu menderita selama ini, bahagia terus adik kecil.”

Itu adalah kalimat terakhir yang bisa dia dengar sebelum tubuhnya seolah terlempar pada masa saat mereka masih kanak-kanak.

Memori Biya…

Biyu menyaksikan semua yang tidak dia ketahui, dari sisi Biya. Anak itu tertegun lama, menyaksikan dengan sabar lembar demi lembar rekaman yang dia lihat. Biyu seolah sedang bermimpi, namun kali ini rasanya sungguh…

Nyata?

Hingga kemudian tubuhnya seperti diguncang oleh seseorang.

“Yuna? Sayang… Kamu bisa denger aku?”

Ah…

Biyu merindukan suara itu.

Add a comment

Related posts:

4 Types of Equipment You Should Know

Tractors are among the best snow-removal tools, did you know that? Tractors can travel to more properties and use less fuel because of their high fuel efficiency. They can efficiently drive a route…

10 Fast Growing Digital Marketing Agencies in India

Digital Marketing Services are becoming popular among the businesses. Here I have listed down some of the growing digital marketing agencies in India that provide services such as SEO, SEM, SMM etc.

How you can effectively promote your content from our Writing Challenge

For those that have taken time to participate in the Dallas Design Sprints 30 minute writing challenge, you’ve probably created an article or two in the past week. For those of you who hate writing…