6 Tips to Make Your WordPress Login Page Secure

If your website is a vault, your WordPress login page is the key to the vault. You need to make sure it’s protected, so that only authorized users can log in. With cybercrime on the rise, anyone…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Sepakbola sebagai Anak Durhaka

Rasanya dapat dipahami jika warga Inggris menganggap sepakbola sebagai anak durhaka. Sudah 52 tahun, sang anak tak pulang ke pelukan. Alih-alih berbakti, sepakbola justru mencari orang tua tiri; Jerman, Argentina, Perancis, Brasil, dan bahkan pernah satu kali memanjakan Yunani. Namun, namanya orang tua, kasih pada anak tetaplah sepanjang masa. Mereka memaafkan setiap kekecewaan yang diberikan per dua tahun sejak 1966, lalu menatap momen selanjutnya dengan penuh harapan sambil berujar dalam sesah: “Suatu hari nanti”.

Doa itu yang dibawa ke Rusia. Namun, berkat malam mengecewakan di Nice dua tahun lalu, kesadaran Inggris untuk melindungi diri dari ekspektasi sudah lebih tinggi. Seperti biasa, ketika kenyataan belum berpihak sementara mimpi masih meronta-ronta di pembuluh darah, fans Inggris melakukan hal terbaik yang bisa mereka lakukan: satir.

Tentu wajar jika satir menjadi pendekatan yang dipilih. Manajer mereka, Gareth Southgate, adalah (mantan) pesakitan. Apa yang mau diharapkan dari biang kekalahan dalam babak adu penalti semifinal Piala Eropa 1996 melawan Jerman? Southgate adalah pria yang bertanggung jawab atas terdegradasinya Middlesbrough ke Championship pada 2009. Inggris U-21 pun tersingkir di fase penyisihan grup dalam Piala Eropa U-21 pada 2015. Bahkan, sampai satu tahap tertentu, dapat dikatakan bahwa Southgate mendapatkan tempatnya sebagai manajer di skuat Inggris “hanya” karena Sam Allardyce kurang waspada dalam sebuah pertemuan.

Meskipun begitu, menurut pandangan penulis peran Southgate pun tidak bisa dianggap remeh. Ia memang miskin kreativitas taktik, namun kekuatan utama yang dibawa oleh dirinya bukanlah taktik melainkan manajemen tim. Southgate, bersama dengan tim komunikasi FA, melakukan revolusi. Mereka membiarkan seluruh pemain diwawancarai awak media dalam sebuah sesi terbuka (mengadopsi sistem NFL). Hal ini terbukti jitu untuk meredam nafsu media-media Inggris.

Selain itu, tidak sedikit pula pihak yang menganggap bahwa metode yang diterapkan Southgate terlalu lunak. Ia diklaim membiarkan skuat Inggris terlalu bebas. Young sendiri mengakui bahwa perjalanan ke Rusia “terasa seperti liburan”. Padahal, justru di sinilah kualitas Southgate bersinar terang. Dengan metode kepemimpinan yang relatif luwes, para pemain tidak merasakan beban besar. Hal itu yang kemudian membuat Piala Dunia 2018 terasa seperti dunia fantasi bagi Inggris. Mereka melangkah dengan kaki ringan dan hati riang di atas hamparan rumput seluas 110 x 75 meter.

Sebaik-baiknya satir adalah yang menyadarkan penonton dan/atau pembaca akan realita. Kegagalan skuat muda Inggris mengingatkan bahwa sepakbola adalah anak segala bangsa dan rumahnya adalah bumi manusia, termasuk Kroasia.

Add a comment

Related posts:

Can fake news be reliable?

Below are some of the sources I used to research about the difference between fake news and “fake” news and their effects. These sources explain the causes of fake news. They do harm (sometimes not…

Lightly

She smiled into the rain, closing her eyes to let it pour down her soft skin that wasn’t sensitive to any of the drops traveling down her face. I watched her from under my umbrella; the way she…

Will I Be a More Successful Writer if I Was White?

I have been writing a lot lately, for me it is therapy. I want to come out, that I also happen to be a non-white person living in the Philippines. I am a Filipino writer. Will I Be a More Successful Writer if I Was White?